Pdt. Dermawisata J.Baen,M.Th |
Ada sebuah peribahasa, ”dimana bumi
dipijak, di situ langit dijunjung”, artinya bila kita menetap di suatu
tempat, maka adat istiadat atau kebiasaan orang di tempat itu, mesti kita pakai
dan hormati. Metode ini digunakan Paulus ketika ia sedang berada di Atena.
Setelah mengelilingi kota yang penuh patung berhala itu, dan meneliti secara
seksama kehidupan penduduk di kota itu, Paulus menemukan ide untuk bertukar
pikiran dan sekaligus memberitakan Injil kepada orang Atena. Di Atena saat itu
ada dua golongan yakni aliran filsafat Epikuros dan Stoa yang mewakili orang
Atena dalam bersoal jawab dengan Paulus (ay.18). Bagi mereka, Injil yang
diberitakan Paulus tidak masuk akal, sebab kedua aliran ini tidak percaya
adanya kebangkitan dan penghakiman setelah kematian. Namun metode pemberitaan
Injil Paulus yang menarik, sehingga topik yang kontropersial ini justeru
kemudian menjadi daya tarik bagi orang Atena untuk mendengarkan pengajaran
Paulus di sidang Areopagus. Paulus menemukan pintu masuk memberitakan Injil
melalui gaya dan ide pemikiran orang Atena sendiri, yakni ”kepada Allah yang tidak dikenal”. Ide ini digunakan Paulus untuk
menguraikan sifat Allah: sebagai pencipta, Allah yang tidak kekurangan apa-apa
sehingga tidak perlu dilayani oleh manusia, Allah yang dekat dan sebagai
penyebab kehidupan, serta Allah yang tidak terbuat dari materi. Dari metode
penginjilan Paulus ini, setidaknya ada dua hal yang dapat kita pelajari:
1. Jadikan
Pemberitaan Injil sebagai Gaya Hidup
Di
Atena, posisi Paulus sebenarnya sangat tidak menguntungkan. Ia sedang dibawah
ancaman pembunuhan oleh orang Yahudi dari Tesalonika karena pemberitaan
Injil. Namun Paulus tidak mencari tempat
untuk bersembunyi. Sebaliknya, totalitas hidupnya dipersembahkan untuk kemajuan
pemberitaan Injil, seperti yang ditulisnya kepada jemaat Filipi (1:21), ”karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati
adalah keuntungan”. Totalitas hidup
Paulus dalam pekabaran Injil ini patut kita teladani di masa kini. Kita tentu
menyadari bahwa kita hidup di tengah masyarakat dengan latar belakang yang
berbeda-beda. Namun kepentingan pemberitaan Injil seharusnya berada di atas
kepentingan apapun. Keadaan seperti ini, menuntut kita sebagai orang-orang yang
mengaku sebagai pengikut Kristus untuk menjadi saksi yang hidup dan menjadikan
setiap perbuatan kita sebagai ibadah kepada Allah, sehingga melalui sikap hidup
kita orang di sekitar mengenal dan menjumpai Kristus di dalam diri kita.
2. Menerapkan Strategi Penginjilan yang Kontekstual
Sering kita kuatir bahwa
mengabarkan Injil menggunakan konteks budaya dimana Injil itu diberitakan
mengandung resiko pencampur-adukan suatu kepercayaan (sinkretis). Namun perlu
disadari dalam sebuah pembelajaran akan mengandung daya tarik apabila
pembelajaran itu ada kait-mengaitnya dengan kebiasaan hidup sehari-hari mereka.
Setelah melihat metode penginjilan Paulus, kita tahu bahwa tujuannya bukanlah
untuk membenarkan penyembahan para dewa orang Atena, melainkan untuk membuat
para pendengarnya lebih mudah mengerti apa pesan dari Injil yang ia beritakan.
Ia menggunakan apa yang sudah ada di sana untuk memperkenalkan siapa Yesus,
agar orang-orang Atena tidak merasa asing dengan pemberitaanya. Karena itu,
strategi penginjilan bukanlah sesuatu yang harus terpaku pada sebuah cara yang
diseragamkan sebagaimana yang diajarkan dalam pelatihan-pelatihan penginjilan,
melainkan dengan berangkat dari situasi atau keadaan pendengar di mana Injil
itu disampaikan.
0 Response to "PEMBERITAAN INJIL YANG KONTEKSTUAL (Kisah Rasul 17:16-34)"
Post a Comment