Pdt. Dermawisata J.Baen, M.Th |
Saat
masih kecil, kita sering diajarkan oleh orang tua supaya menggantungkan
cita-cita setinggi langit. Tujuannya adalah agar kita memiliki tekad dan
semangat yang jauh ke depan dalam rangka mewujudkan cita-cita itu. Namun pernahkah kita pikir, untuk apa
cita-cita kita tersebut? Hampir semua cita-cita yang kita canangkan hanya
berdasarkan keinginan kita atau orang tua kita semata, agar kita dapat meraih
prestise, harga diri, gengsi, kehormatan atau nilai diri dan kesenangan. Tetapi
berbeda dengan Paulus. Baginya segenap pekerjaan hanyalah untuk melakukan
kehendak Allah dan menyelesaikan pekerjaan-Nya, bukan cita-citanya sendiri. Itu
sebanya ketika Paulus di Efesus, banyak saudara seiman di sana memintanya untuk
tinggal lebih lama lagi. Tetapi Paulus menolaknya mengatakan, “Aku akan kembali
kepadamu, jika Allah menghendakinya” (ay.21).
Apakah Paulus adalah seorang anak Tuhan yang memiliki ukuran iman khusus melebihi manusia lainnya? Tentu saja tidak. Ia adalah model anak Tuhan yang normal, yaitu pengikut Kristus yang sejati. Oleh sebab itu dari kehidupan dan pelayanannya kita dapat meneladani hal-hal yang indah, bahwa Paulus ingin menunjukkan sikapnya terhadap Tuhan yang dilayaninya, yaitu tidak akan bertindak jika Tuhan tidak memerintahkannya. Ini adalah penyerahan hidup secara total kepada pengaturan Allah. Penyerahan diri secara total kepada pengaturan Allah, tidak sama dengan menyerah kalah dalam arti pesimistis. Penyerahan diri secara total kepada Allah berarti suatu kesadaran iman yang tinggi untuk tidak dengan sesuka hati mengatur diri kita sendiri, tetapi mengijinkan Allah mengatur diri kita. Kehidupan semacam ini menunjukkan kedewasaan rohani seseorang, karena ada kepercayaan dan kesadaran seperti yang diungkapkan Paulus dalam (Gal. 2:20), “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku”.
0 Response to "MENGIJINKAN ALLAH MENGATUR HIDUP KITA (Kisah Rasul 18:18-23)"
Post a Comment